'Urf sebagai Sumber Hukum dalam Islam
1.
Pengertian ‘Urf
Kata urf berasal dari kata arafa
ya’rifu sering di artikan dengan al-ma’ruf dengan arti sesuatu yang
dikenal. Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi
kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidakmelakukan sesuatu.
Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasidari
kalangan Hanafi, Ibnu Abidin,Al-Rahawi dalam Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu
Ujaim dalam kitab Al-Aisbah wa al-Nazhair berpendapat bahwa urf sama dengan
adat tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun sebagian Ushuliyyin,
seperti Ibnu Humamdan al-Bazdawi membedakan antara adat dengan urf dalam
membahas kedudukannyasebagaisalah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’.
Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya
hubungan rasional. Sedangkan ‘urf ialah kebiasaan mayoritas kaum,baik dalam
perkataan atau perbuatan. Dalam pengertianini adat lebih luas daripada urf.
Adat mencakup seluruh jenis ‘urf. Tetapitidak sebaliknya. Kebiasaan
individu-individu atau kelompok tertentu dalam makan, berpakaian, tidur dan
sebagainya dinamakan adat tidak dikatakan ‘urf. Tetapi, dari sisi yang lain,
urf lebih umum daripada adat, sebab adat hanya menyangkut perbuatan , sedangkan
‘urf menyangkut perbuatan dan ucapan sekaligus.
Dari adanya ketentuan bahwa ‘urf atau adat
itu sesuatu yang harus dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak,
terlihat ada kemiripannya dengan ijma’. Namun antara keduanya terdapat beberapa
perbedaaan yang di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’ harus
diterima semua pihak. Sedangkan ‘urf
atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah dilakukan dan dikenal oleh
sebagian orang saja.
2. Ijma’ adalah kesepakatan (penerimaan) di
antara orang-orang tertentu, yaitu para mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak
diperhitungkan kepakatan ataupun penolakannya. Sedangkan ‘urf atau adat yang mengakui adalah seluruh
lapisan manusia baik mujtahid atau bukan.
3. ‘Urf atau adat itu dapat mengalami
perubahan karena berubahnya orang-orang yang menjadi bagian dari umat itu.
Sedangkan ijma’ tidak akan mengalami perubahan.
2.
Macam – Macam ‘Urf
Para
Ulama Ushul fiqih membagi ‘urf dalam tiga macam:
1. Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam
al-urf al-lafdzi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali
(kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a. Al-urf al-lafdzi
adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu
untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalampikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan daging yang berarti
daging sapi; padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada. Apabila
seorang mendatangi penjual daging, saya beli daging satu kilogram pedagang itu
langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat yang
mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b. Al-‘urf al-amali
adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah
keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa
adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak t orang
lain, sepertikebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentudalam satu minggu,
kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman
tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentudalamacara
khusus..
2. Dari segi cakupannya,urf di bagi dua,
yaitu al-urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-khas
(kebiasaan yang besifat khusus).
a. Al-urf al-am,
adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh daerah. Misalnya
dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki
mobil,seperti kunci,tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalamharga jual,
tanpa akad sendiri,dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang
berlaku bahwa berat barang bawaan bagi penumpang pesawat terbang adalah dua
puluh kilogram.
b. Al-‘urf al-khas,
adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya,
dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu padabarang yang dibeli
dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu, tidak dapat
dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masagaransi terhadap
barang tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku d kalangan pengacara
hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus di bayar duluoleh
kliennya. Urf al-khas seperti ini,menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, tidak
terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai perubahan situasi dan kondisi masyarakat.
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan
syara’,’urf terbagidua yaitu al-‘urfal shahih (kebiasaan yang di anggap
sah) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan
yang dianggap rusak).
a. Al-‘urf al shahih,
adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist) tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa madarat bagi mereka.
Misalnya, dalam terkait dengan kepentingan masa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini di anggapsebagaimas kawin.
b. Al-‘urf al-fasid,
adalah kebiasaan yang beretentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah
dasar yang ada dalam syara’.
Misalnya, kebiasaan menghalalkan
riba,sepertipeminjam uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar
sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan harus di bayar sebanyak sebelas juta
rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi
keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang sebanyak 10% tidaklah
memberatkan, karena keuntngan sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi
bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktek seperti ini bukanlah kebiasaan yang
bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang
sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihi (HR. Al-Bukhari, Muslim,
dan Ahmad Ibnu Hanbal). Selain itu praktek seperti ini adalah praktek
peminjaman yang berlaku di jaman jahiliyyah, yang dikenal dengan sebutan
ribal-nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan
seperti ini,menurut ulama ushul fiqih termasuk dalam kategori al-‘urf
al-fasid.
3.
Kehujjahan
‘Urf
Ada
beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhjjah dengan ‘urf
danmenjadikannya sebagai sumber hukum fiqih,yaitu:
1. Firman Allah yang mengartikan sebagai
berikut
Artinya:
Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Yang menurut Al-Qarafy bahwa setiap yang diakui adat, ditetapkanhukum
menurutnya,karena zohir ayat ini.
2.
Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abdullah bin
Mas’ud :
مَارَاهُالمسلمُونَحَسَنًافَهُوَعندَاللهاَمْرٌحَسَنٌ.
Yang menunjukkan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum muslimin
dan di pandangnya baik adalah pula baik disisi Allah.
3. Sabda Nabi
Muhammad SAW kepada Hindun istri Abi Sufyan ketika iamengadukan suaminya kepada
Nabi bahwa suaminya bakhil memberi nafkah:
. خذى من مال ابىسفيانمايليكوولدَكِ بالمعروف
(ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu
menurut ‘urf).
Al Qurthuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdpat ‘urf dalam
penetapan hukum.
4.
Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukkan bahwa
dengan melakukannya, mereka akan memperoleh maslahat atau terhindar dari
mafsadat.
Sedang maslahat ada dalil syar’i
sebagaimana menghilangkan kesusahan merupakan tujuan syara’.
Adapun alasan ulama yang memakai
‘urf dalam menentukan ‘urf antara lain:
1.
Banyak Hukum Syari’at, yang ternyata sebelumnya telah merupakan
kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan keluarga
dalam pembagian waris.
2.
Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun perbuatan,
ternyata dijadikan pedoman sampai sekarang.
Secara umum ‘urf itu di amalkan oleh semua ulama fiqh terutama
dikalangan ulama madzhab Hanafiyah dab Malikiyah.
Ulama’ Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad dan salah
satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al ‘urf (istihsan yang menyandar pada
‘urf). Oleh ulama’ Hanafiyah, ‘urf itu di dahulukan atas qiyas kahfi khafi dan
juga di dahulukan atas nash yang umun, dalam arti umum, dalam arti ‘urf itu
men-takhsis umum nash.
Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan
ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari
hadist ahad.
Ulama’ Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak
menemukan ketentuan batansannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.
Komentar
Posting Komentar