''SEJARAH ISLAM DI INDONESIA''
A. WAKTU MASUKNYA ISLAM
DI INDONESIA
Di lihat dari proses masuk dan
berkembangnya agama Islam di Indonesia, ada tiga teori yang berkembang. Teori
Gujarat, teori Makkah, dan teori Persia (Ahmad Mansur, 1996). Ketiga teori
tersebut, saling mengemukakan perspektif kapan masuknya Islam, asal negara,
penyebar atau pembawa Islam ke Nusantara.
1. Teori
Mekah
Teori Mekah mengatakan bahwa
proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau Arab. Proses
ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang
memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA, salah
seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan pendapatnya ini
pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis Perguruan Tinggi
Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan para sarjana
Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak langsung dari
Arab. Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal
Indonesia dan sumber Arab.
Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang
Arab tidak dilandasi oleh nilai nilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi
spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara
Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.
Dalam hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan
terhadap Teori Gujarat yang banyak kelemahan. Ia malah curiga terhadap
prasangka-prasangka penulis orientalis Barat yang cenderung memojokkan Islam di
Indonesia. Penulis Barat, kata HAMKA, melakukan upaya yang sangat sistematik
untuk menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang
mesra antara mereka dengan tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia
dalam menimba ilmu agama. Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia
mendapatkan Islam dari orang- orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya
sekadar perdagangan. Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang
diungkapkan oleh A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum
pengembara) yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi
biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan
kumpulan atau perguruan tarekat.[1]
2. Teori
Gujarat
Teori Gujarat mengatakan bahwa
proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau
abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat, berdekaran dengan
Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana
dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel
dari Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab
Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke7
Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah
dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam
dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia. Dalam perkembangan
selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis
terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu
berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah
lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang
Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa
berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi
Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di di depan namanya.
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh
J.P. Moquetta (1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik
Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh.
Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun
1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang
terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan
tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau
orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya
adalah kesamaan mahzab Syafei yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan
Indonesia.[2]
3. Teori
Persia
Teori Persia mengatakan bahwa
proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau Parsi
(kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat, sejarawan
asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan
analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat
Parsi dan Indonesia.
Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan
10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin
Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di
Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab
yang ditranslasi melalui bahasa Parsi. Tradisi lain adalah ajaran mistik yang
banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah
dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum
oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan
ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas politik dan sosial.
Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu
ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan
Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia
menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di Iran.[3]
4. Teori cina
teori ini diketahui melalui catatan dari Ma Huan,
seorang penulis yang mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho. Ia menyatakan
melalui tulisannya bahwa sejak kira-kira-kira tahun 1400 telah ada
saudagar-saudagar Islam yang bertempat tinggal di pantai utara Pulai Jawa.11
T.W. Arnol pun mengatakan para pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam di
Nusantara, ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad
awal Hijrah atau abad ke-7 dan ke-8 M. Dalam sumber-sumber Cina disebutkan
bahwa pada abad ke-7 M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman
Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera (disebut Ta’shih).[4]
B. BUKTI MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
1. Surat
Raja Sriwijaya
Salah satu
bukti tentang masuknya Islam ke Indonesia dikemukakan oleh Prof.Dr.Azyumardi
Asra dalam bukunya Jaringan Ulama Nusantara. Dalam buku itu, Azyumardi
menyebutkan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Hal ini dibuktikan dengan adanya surat yang dikirim oleh Raja Sriwijaya kepada
Umar bin Abdul Azis yang berisi ucapan selamat atas terpilihnya Umar bin Abdul
Azis sebagai pemimpin dinasti Muawiyah.
2. Makam
Fatimah binti Maimun
Berdasarkan
penelitian sejarah telah ditemukan sebuah makan Islam di Leran, Gresik. Pada batu
nisan dari makam tersebut tertulis nama seorang wanita, yaitu Fatimah binti
Maimun dan angka tahun 1082. Artinya, dapat dipastikan bahwa pada akhir abad
ke-11 Islam telah masuk ke Indonesia. Dengan demikian, dapat diduga bahwa Islam
telah masuk dan berkembang di Indonesia sebelum tahun 1082.
3. Makam
Sultan Malik As Saleh
Makam Sultam
Malik As Saleh yang berangka tahun 1297 merupakan bukti bahwa Islam telah masuk
dan berkembang di daerah Aceh pada abad ke-12. Mengingat Malik As Saleh adalah
seorang sultan, maka dapat diperkirakan bahwa Islam telah masuk ke daerah Aceh
jauh sebelum Malik As Saleh mendirikan Kesultanan Samudra Pasai.
4. Cerita
Marco Polo
Pada tahun
1092, Marco Polo, seorang musafir dari Venesia (Italia) singgah di Perlak dan
beberapa tempat di Aceh bagian Utara. Marco Polo sedang melakukan perjalanan
dari Venesia ke NegerI Cina. Ia menceritakan bahwa pada abad ke-11, Islam telah
berkembang di Sumatra bagian Utara. Ia juga menceritakan bahwa Islam telah
berkembang sangat pesat di Jawa.
5. Cerita
Ibnu Battutah
Pada tahun
1345, Ibnu Battutah mengunjungi Samudra Pasai. Ia menceritakan bahwa Sultan
Samudra Pasai sangat baik terhadap ulama dan rakyatnya. Di samping itu, ia
menceritakan bahwa Samudra Pasai merupakan kesultanan dagang yang sangat maju.
Di sana Ibnu Battutah bertemu dengan para pedagang dari India, Cina, dan Jawa.[5]
C. JALUR PELAYARAN MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Islam masuk ke Indonesia melalui dua jalur,
yaitu:
1.
Jalur utara
dengan rute: Arab (Mekah dan Madina) – Damaskus – Bagdad – Gujarat (Pantai
barat India) – Srilanka – Indonesia.
2.
Jalur
selatan dengan rute: Arab (Mekah da Madinah) – Yaman – Gujarat – Srilanka –
Indonesia
Dalam waktu yang tidak begitu lama Islam
masuk ke Indonesia, Islam telah tersebar ke seluruh penjuru kepulauan
Indonesia.Penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia sangat pesat. Hal
ini disebabkan antara lain:
a)
Adanya
dorongan kewajiban bagi setiap muslim untuk berdakwah menyiarkan Islam sesuai
kemampuan mereka masing-masing. Nabi Muhammad saw bersabda: “Sampaikanlah
olehmu apa-apa yang berasal dariku, walau hanya satu ayat” (Al Hadis)
b)
Adanya tekad
dan keuletan yang dimiliki oleh para juru dakwah untuk berdakwah secara
terus-menerus kepada keluarganya, tetangganya dan masyarakat sekitarnya. Mereka
berdakawa sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, yakni: tidak dengan jalan
paksaan, kekerasan, melainkan dengan cara bijaksana, dengan pangajaran yang
baik, dengan bertukar pikiran disertai dengan argumen-argumen yang tepat, dan
dengan contoh teladan yang betul-betul Islami.
c)
Persyaratan
masuk Islam sangat mudah. Seseorang telah dianggap masuk Islam ketika telah
mengucapkan dua kalimat syahadat. Demikian juga ajaran Islam lebih mudah
dipahami, lebih sederhana dan lebih masuk akan dibanding agama lainnya.
d)
Ajaran
Islam yang tidak memandang kasta dan tidak kata diskriminasi mudah menarik
simpati rakyat, terutama dari lapisan bawah.
e)
Banyak
raja-raja Islam yang ada di berbagai penjuru tanah air sehingga para rakyatnya
juga mengikuti apa yang dilakukan oleh rajanya.
D. Proses Islamisasi
Islam
disebarkan dengan cara damai bukan dengan kekerasan apalagi dengan pedang.
Islam masuk seirama dengan budaya setempat, Islam tidak melakukan perubahan
secara radikal dan sporadis, bahkan Islam dijadikan stabilisator aoabila stuasi
politik sedang mengalami ketidak-stabilan karena perebutan kekuasaan antara
beberapa kalangan.[6]
Badri Yatim mengutip pendapat Candarsasmita yang mengatakan bahwa penyeberan
Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai melalu enam cara berikut :[7]
1) Perdagangan
Pada
tahap awal, jalur perdagangan adalah satu-satunya jalan yang paling memungkinkan
, karena lalu-lintas perdagangan memang telah ramai sejak abad ke-7 sampai abad
ke-16 M. Jalur ini sangat menguntungkan karena para raja-raja juga terlibat
dalam aktivitas perdagangan ini, bahkan mereka merupakan pemilik kapal dan
saham. Selanjutnya jalur ini menjadi lebih penting dan strategis karena
sebagaian dari mereka adalah penguasa, sehingga proses Islamisasi lebih mudah
terlaksana.
2) Perkawninan
Dari
sudut ekonomi, para pedagang muslim mempunyai status yang lebih baik
dibandingkan dengan mayoritas penduduk pribumi, sehingga penduduk pribumi dan
khususnya para putri raja tertarik untuk menjadi istri para saudagar. Sebelum
mereka menikah, biasanya putri ini diIslamkan terlebih dahulu. Setelah mereka
mempunyai keturunan, dengan otomatis tentu saja lingkungan dan penduduk
muslimpun semakin luas hingga mereka bisa membentuk pemukiman, hingga pada
gilirannya terbentuklah kerajaan-kerajaan Islam. Jalur ini menguntungkan karena
dengan keterlibatan kalangan istana dan keturunannya akan mempercepat proses
Islamisasi. Demikianlah yang dilakukan oleh Raden Rahmat atau sunan Ampel
dengan Nyai Manil, Sunan Gunung Jati dengan putri Kawungten, Brawijaya dengan
puteri Campa yang menurunkan Raden Fatah (raja pertama kerajaan Demak).
3) Tasawwuf
Pengajar-pengajar
tasawwuf atau para sufi mengajarkan ajaran agama bercampur dengan kebudayaan
yang telah masyarakat kenal sebelumnya. Para muballigh ini juga mahir dalam
ilmu kebathinan dan pengobatan. Dengan cara dan jalur ini, Islam menyeber
dengan cara yang menyentuh dan memberi kesan damai. Diantara mereka ini adalah
Hamzah Fansyuri di Aceh, Sekh Lemang Abang dan Sunan Panggung di Jawa.
4) Pendidikan
Penyebaran
agama Islam juga dilakukan melalu jalur pendidikan, yakni pesantren meskipun
dalam arti yang lebih sederhana. Di pesantren atau pondok, para kyiai dan guru
mengajar dan menyebarkan ajaran Islam. Santri-santri yang telah menamatkan
kajiannya akan keluar dan wajib menyebarkan ajaran Islam. Conth pesantren ini
adalah seperti pesantren yang didirikan oleh Sunan Ampel di Ampel, dan Sunan
Giri di Giri.
5) Kesenian
Penyebaran
dakwah melalui kesenian maksudnya adalah menyampaikan dakwah ajaran Islam
melalui kesenian yang telah ada dan dikenal dekat oleh masyarakat setempat. Di
Jawa, media utamanya adalah wayang, dalam hal ini Sunan Kalijaga adalah salah
satu sunan yang ahli memainkan wayang, setiap kali penonton ingin menyaksikan
pertunjukannya, beliau meminta mereka untuk mengucapkan kalimat syahadat, namun
beliau tidak mengatakan bahwa itu merupakan ucapan bagi orang yang akan masuk
agama Islam. Selanjutnya dalam setiap lakon yang dimainkan, seperti kisah
Mahabrata dan yang lainnya, maka beliau akan menyelipkan nama tokoh Islam.
Tanpa disadari, kepada para penonton telah diperkenalkan beberapa ajaran Islam.
Cara ini ternyata sangat efektif, karena para penonton tidak merasa terpaksa
untuk mengikuti dakwah dan ajaran yang disebarkan melalui media wayang.[8]
6) Politik dan Kekuasaan
Di
kepulauan Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan para penduduk masuk Islam
setelah rajanya memeluk agama Islam terlebih dahulu, sehingga peran dan
partisipasi raja sangat membantu proses Islamisasi di daerah tersebut. Di
bagian Timur Indonesia baik di daerah Sumatera dan Jawa banyak
kerajaan-kerajaan Islam yang demi kepentingan politiknya memerangi kerajaan
non-Islam. Ke-enam jalur yang dipergunakan oleh para pembawa ajaran Islam
seolah-olah terlihat menumpang di sela-sela institusi yang telah dikenal oleh
masyarakat setempat, baik melalui kesenian dan kebudayaan masyarakat.[9]
E. Faktor-faktor Islam Mudah Diterima di Nusantara
1.
Penyebaran
agama dengan konsep akulturasi, damai dan tanpa kekerasan
Proses penyebaran agama Islam yang dilakukan para leluhur, Wali Songo dan ulama terdahulu menggunakan cara-cara yang damai, tanpa kekerasan sehingga mudah diterima oleh masyarakat.Tradisi, adat dan budaya tidak ditentang, tapi dimasuki unsur dan nilai-nilai Islami yang substantif. Sebagian ritus atau ritualnya dipertahankan, tetapi substansi, esensi dan nilainya adalah Islam.
Proses penyebaran agama Islam yang dilakukan para leluhur, Wali Songo dan ulama terdahulu menggunakan cara-cara yang damai, tanpa kekerasan sehingga mudah diterima oleh masyarakat.Tradisi, adat dan budaya tidak ditentang, tapi dimasuki unsur dan nilai-nilai Islami yang substantif. Sebagian ritus atau ritualnya dipertahankan, tetapi substansi, esensi dan nilainya adalah Islam.
2. .Politik kedekatan dengan kekuasaan
Runtuhnya kerajaan Majapahit kemudian lahir pemerintahan baru bernama Kesultanan Demak Bintoro tidak lepas dari buah politik untuk memperluas ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW.Politik tidak selalu identik dengan hal negatif, tetapi menjadi sebuah cara untuk menuju cita-cita penyebaran Islam di Tanah Jawa, termasuk Nusantara. Kegagalan pendakwah terdahulu, karena mereka mengabaikan faktor politik dan kedekatan dengan kekuasaan.Hingga ketika peran Wali Songo masuk dalam lingkaran Kerajaan Majapahit, agama Islam mulai diakui eksistensinya bersama dengan Hindu dan Buddha. Dengan peran para wali pula, Kesultanan Demak lahir sebagai tonggak sejarah meluasnya umat Islam di Nusantara.
Runtuhnya kerajaan Majapahit kemudian lahir pemerintahan baru bernama Kesultanan Demak Bintoro tidak lepas dari buah politik untuk memperluas ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW.Politik tidak selalu identik dengan hal negatif, tetapi menjadi sebuah cara untuk menuju cita-cita penyebaran Islam di Tanah Jawa, termasuk Nusantara. Kegagalan pendakwah terdahulu, karena mereka mengabaikan faktor politik dan kedekatan dengan kekuasaan.Hingga ketika peran Wali Songo masuk dalam lingkaran Kerajaan Majapahit, agama Islam mulai diakui eksistensinya bersama dengan Hindu dan Buddha. Dengan peran para wali pula, Kesultanan Demak lahir sebagai tonggak sejarah meluasnya umat Islam di Nusantara.
3.
Islam
tidak kenal strata, kasta atau pelapisan sosial
Dalam ajaran agama Islam, yang membedakan seseorang mulia atau tidak adalah ketakwaanya, bukan kekayaan, jabatan, darah biru, atau faktor lainnya. Selama seseorang itu bertakwa, maka dia sangat mulai di mata Tuhan. Semua orang sejajar yang dalam ritusnya diajarkan pada sholat berjamaah. Umat Muslim boleh menjadi imam asal agamanya baik, boleh duduk berdampingan dengan siapa saja, di shaf bagian mana saja. Tidak ada pembedaan pejabat atau ningrat harus berada di depan. Maka, saat Nusantara waktu itu mengenal kasta, maka Islam disambut oleh masyarakat luas. Nilai-nilai sosial juga sangat diajarkan dalam Islam, sehingga Islam bukan hanya menekankan hablum minallah (hubungan manusia dengan Allah), tetapi juga hablum minannas (hubungan manusia dengan manusia).
Dalam ajaran agama Islam, yang membedakan seseorang mulia atau tidak adalah ketakwaanya, bukan kekayaan, jabatan, darah biru, atau faktor lainnya. Selama seseorang itu bertakwa, maka dia sangat mulai di mata Tuhan. Semua orang sejajar yang dalam ritusnya diajarkan pada sholat berjamaah. Umat Muslim boleh menjadi imam asal agamanya baik, boleh duduk berdampingan dengan siapa saja, di shaf bagian mana saja. Tidak ada pembedaan pejabat atau ningrat harus berada di depan. Maka, saat Nusantara waktu itu mengenal kasta, maka Islam disambut oleh masyarakat luas. Nilai-nilai sosial juga sangat diajarkan dalam Islam, sehingga Islam bukan hanya menekankan hablum minallah (hubungan manusia dengan Allah), tetapi juga hablum minannas (hubungan manusia dengan manusia).
4.
.
Ritualnya sangat sederhana dan mudah
Setiap agama memiliki ritual atau beribadah tersendiri. Ibadah Islam sangat simpel, seperti sholat untuk beribadah kepada Tuhan melalui Tuhan, zakat untuk beribadah kepada Tuhan melalui manusia, puasa yang diwajibkan pada bulan Ramadhan saja, haji kalau mampu.
Setiap agama memiliki ritual atau beribadah tersendiri. Ibadah Islam sangat simpel, seperti sholat untuk beribadah kepada Tuhan melalui Tuhan, zakat untuk beribadah kepada Tuhan melalui manusia, puasa yang diwajibkan pada bulan Ramadhan saja, haji kalau mampu.
5.
Masuk
Islam cukup 2 kalimat syahadat
Tidak ada syarat yang macam-macam untuk masuk Islam. Cukup bersyahadat dua kali dengan sepenuh keimanan, bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan kita dan Muhammad SAW adalah rasul-Nya, maka sudah masuk Islam.
Tidak ada syarat yang macam-macam untuk masuk Islam. Cukup bersyahadat dua kali dengan sepenuh keimanan, bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan kita dan Muhammad SAW adalah rasul-Nya, maka sudah masuk Islam.
6.
Agama
yang bertumpu pada kedamaian
Kata “Islam” artinya adalah damai, sejahtera. Maka umat Islam sesungguhnya umat yang terus menyerukan perdamaian. Kenapa sejarahnya ada perang? Kamu harus tahu bahwa Nabi Muhammad memutuskan untuk perang melawan kaum kafir setelah 8 tahun umatnya disiksa, dianiaya, dijarah dan hak-haknya dirampas. Sahabat Nabi pernah memprotes, kenapa Nabi tidak melawan? Nabi menjawab, menunggu perintah Allah. Setelah wahyu turun, Nabi dan umatnya baru memutuskan untuk perang. Itupun banyak syarat dan aturan dari Nabi yang harus dilakukan selama perang. Contohnya, tidak boleh menganiaya orang tua, janda, pekerja atau petani, bahkan pedang pasukan Islam tidak boleh menebas pohon sekalipun. Sungguh luar biasa ajaran beliau Rasulullah SAW. Kalau banyak Muslim yang saat ini “bersumbu pendek”, gampang marah dan mudah mengkafirkan orang lain, tentu mereka tidak sejalan dengan nilai-nilai yang ajarkan Islam. Cobalah belajar sejarah.
Kata “Islam” artinya adalah damai, sejahtera. Maka umat Islam sesungguhnya umat yang terus menyerukan perdamaian. Kenapa sejarahnya ada perang? Kamu harus tahu bahwa Nabi Muhammad memutuskan untuk perang melawan kaum kafir setelah 8 tahun umatnya disiksa, dianiaya, dijarah dan hak-haknya dirampas. Sahabat Nabi pernah memprotes, kenapa Nabi tidak melawan? Nabi menjawab, menunggu perintah Allah. Setelah wahyu turun, Nabi dan umatnya baru memutuskan untuk perang. Itupun banyak syarat dan aturan dari Nabi yang harus dilakukan selama perang. Contohnya, tidak boleh menganiaya orang tua, janda, pekerja atau petani, bahkan pedang pasukan Islam tidak boleh menebas pohon sekalipun. Sungguh luar biasa ajaran beliau Rasulullah SAW. Kalau banyak Muslim yang saat ini “bersumbu pendek”, gampang marah dan mudah mengkafirkan orang lain, tentu mereka tidak sejalan dengan nilai-nilai yang ajarkan Islam. Cobalah belajar sejarah.
7.
Aturan
dalam Islam tidak memaksa dan fleksibel
Umat Islam memang diwajibkan, tetapi juga dimudahkan dalam kondisi dan konteks tertentu. Misalnya, ibadah haji sesungguhnya wajib karena menjadi syarat. Namun, umat Muslim diperbolehkan tidak melaksanakan haji jika tidak mampu, baik dalam hal keuangan-finansial maupun kesehatan. Contoh lain, orang boleh membatalkan puasa wajib jika berhalangan, mungkin karena kesehatan atau lainnya. Sholat lima waktu juga boleh dijamak bila dalam perjalanan jauh lebih dari 90 kilometer. Bahkan, tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Hal itu tercantum dalam Al Quran Surat Al Baqarah 256.
Umat Islam memang diwajibkan, tetapi juga dimudahkan dalam kondisi dan konteks tertentu. Misalnya, ibadah haji sesungguhnya wajib karena menjadi syarat. Namun, umat Muslim diperbolehkan tidak melaksanakan haji jika tidak mampu, baik dalam hal keuangan-finansial maupun kesehatan. Contoh lain, orang boleh membatalkan puasa wajib jika berhalangan, mungkin karena kesehatan atau lainnya. Sholat lima waktu juga boleh dijamak bila dalam perjalanan jauh lebih dari 90 kilometer. Bahkan, tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Hal itu tercantum dalam Al Quran Surat Al Baqarah 256.
Faktor-faktor tersebut menarik kegemaran
penduduk setempat untuk menganut agama Islam dengan suka hati, disamping para
saudagar yang datan ke-gugusan pulau-pulau Nusantara tidak membawa serta istri
mereka atau memang mereka belum mempunyai istri. Hal ini kemudian mendorong
mereka untuk menikahi wanita-wanita penduduk pribumi, dan tentu saja
isteri-isteri mereka ini akan masuk Islam, dengan begitu, serta keturunan
mereka akan memperbanyak kaum muslim di daerah tersebut.
Pendapat lain yang hampir serupa mengemukakan
bahwa setidaknya ada tiga determinasi yang mempercepat proses penyebaran agama
Islam di Indonesia yaitu :
1.
Pertama
adalah karena ajaran Islam itu mengajarkan tauhid, hal ini ternyata merupakan
ajaran baru yang secara diametral bertentangan dengan hubungan kemasyarakatan
saat itu yaitu sistem kasta yang merupakan ajaran Hindu. Selain itu, Islam juga
mengajarkan egalitarian (keadilan), kesamaan serta prinsip rasionalitas. Islam
tidak pernah memerintahkan sesuatu yang diluar jangkauan para penganutnya.
2.
Kedua
adalah fleksibilitas ajaran agama Islam itu sendiri, dengan kata lain bahwa
ajaran agama itu merupakan kodifikasi kebenaran-kebenaran universal. Misalnya
ada sesuatu yang telah berkembang pada masyarakat, maka Islam tidak akan
merubahnya secara spontan. Tetapi manakala hal itu bertentangan dengan ajaran
Islam, maka disinilah dilakukan proses Islamisasi.
Komentar
Posting Komentar