''Ontologi Hukum Keluarga''
Sejarah
filsafat tidak selalu lurus terkadang berbelok kembali ke belakang, sedangkan
sejarah ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat dan ilmu
selalu berjalan beriringan dan saling berkaitan. Filsafat dan ilmu mempunyai titik singgung
dalam mencari kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan dan filsafat bertugas menafsirkan
fenomena semesta, kebenaran berada disepanjang pemikiran, sedangkan kebenaran
ilmu berada disepanjang pengalaman. Tujuan befilsafat menemukan kebenaran yang
sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis,
jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu biasanya terbagi
menjadi tiga cabang besar filsafat, yatu teori pengetahuan, teori hakikat, dan
teori nilai.
Ilmu tidak
terlepas dari landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas
apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ ada “ dengan perkataan lain
bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan.
Epistemologi membahas tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan. Dan
aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Dengan membahas ketiga unsur ini manusia akan
mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya, maka manusia
tidak akan dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya.
Secara Bahasa,
Kata Ontologi berasal dari kata “Ontos” yang berarti “berada (yang ada)”.
Sedangkan kata “logos” berarti”ilmu
pengetahuan, ajaran dan teori”. Jadi, Ontologi adalah ilmu pengetahuan yang
meneliti segala sesuatu yang ada.
Seperti diketahui bahwa negara sudah
mengatur tentang perkawinan dan hidup kekeluargaan, maka setiap orang perlu
mengetahui hakikat keduanya. Aspek ontologi yaitu dapat dipahaminya hakikat
hubungan antara manusia dengan nilainilai sebuah perkawinan dan keluarga yang
dilakukan antara laki-laki dengan perempuan. Dalam kontek Indonesia maka
hakikat dasar ontologi manusia yang mendasari makna hidup keluarga dan
perkawinan adalah bersumber dari nilai-nilai Pancasila sebagaimana terdapat di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi grundnorm Negara Republik
Indonesia. Sehubungan dengan itu, maka konsep ideal yang dicita-citakan
berlangsung dalam keadaan serasi yang mencerminkan dapat dipenuhinya kebutuhan
keluarga dan perkawinan yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan :
a)
Pribadi/
individu
b)
Sosial
c)
Tuhan
Dalam UU Nomor
1 Tahun 1974 diatur tentang definisi perkawinan (Pasal 1) dan keabsahan
perkawinan (Pasal 2) memiliki hubungan kebenaran korespondensi dengan filosofis
ontologi manusia yang bersifat monopluralis. Seperti diungkapkan oleh Alm. Notonagoro
bahwa landasan ontologis manusia yang monopluralis adalah landasan bagi
Pancasila yang menjadi sebuah sistem filsafat, menjiwai segenap peraturan
perundang-undangan di Republik Indonesia ini. Ini berarti kodrat manusia antara
laki-laki dan perempuan untuk membentuk kehidupan keluarga yang bahagia telah
diadopsi oleh UU Nomor 1 Tahun 1974.
Pendefinisian
perkawinan oleh UU yang mendasarkan keabsahan perkawinan bila dilakukan sesuai
dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya menunjukkan bahwa hukum
keluarga Indonesia sesuai dengan nilai filosofis ontologi manusia monopluralis
yang mengakui nilai religius yang bersifat mutlak. Sehingga dapat diartikan
bahwa filsafat hukum keluarga akan berperan positif membangun hukum yang
dibutuhkan masyarakat melaui dibentuknya perundang-undangan. Selain itu
sekaligus memiliki tugas penting untuk mengembangkan sistem hukum nasional
serta memberikan pemahaman yang benar akan makna setiap aturan hukum positif.
Di Indonesia
berlakunya UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak bisa lepas dari aspek teologis
pembentukannya. Sehingga tidak mengherankan banyak kesesuaian UU positif
tersebut dengan ketentuan dalam Kitab Suci. Indonesia sebagai negara yang
berdaulat memiliki sistem hukumnya sendiri termasuk pengaturannya dalam masalah
keluarga dan perkawinan. Hakikat dasar ontologi manusia yang mendasari makna
hidup keluarga dan perkawinan bersumber pada nilai-nilai Pancasila sebagaimana
terdapat di dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi grundnorm Negara
Republik Indonesia dan terjabarkan dalam pasal-pasal UU Perkawinan. Sehingga
pemahaman hukum dari aspek filosofis sangat perlu agar tujuan dari berkeluarga
melalui perkawinan tersebut dapat tercapai.
Filsafat hukum keluarga saat ini
dijadikan suatu pokok kajian atau tema dalam studi hukum. Hal ini didasarkan 3
(tiga) hal. Pertama, keluarga adalah basis bagi pembentukan kehidupan negara
yang sejahtera, aman, tertib dan damai. Kedua, filsafat hukum keluarga memberikan kerangka atau landasan bagi
pengembangan ilmu hukum yang lebih luas, tidak terbatas pada hukum keluarga
saja. Hal ini karena kaitan yang erat antara keluarga dengan aspek-aspek hukum
yang lain, baik bersifat teoritis maupun praktis yang bersifat perdata, pidana,
administratif serta martabat kemanusiaan universal. Ketiga, nilai-nilai
filsafat hukum yang terbangun selaras dengan nilai-nilai filsafat Pancasila
dengan sendirinya menghapuskan nilai-nilai filosofis lama/ warisan sistem hukum
kolonial yang meliputi berbagai aturan hukum yang sampai sekarang masih karena
belum diganti dengan aturan hukum psitif yang baru yang filsafat Pancasila.
Dengan
demikian filsafat hukum, dalam hal ini filsafat hukum keluarga akan berperan
positif membangun aturan hukum yang dibutuhkan masyarakat dan negara yang diwujudkan
dalam bentuk Peraturan perundang-undangan sistem hukum antara negara-negara nya
mengenai perkawinan dan dalam hal ini berbeda-beda
sebagai kedaulatan setiap Negara.
Komentar
Posting Komentar