- A. Islam Nusantara dalam pandangan NU
Islam Nusantara
(IN) terdiri dari dua kata, Islam dan Nusantara. Islam berarti “penyerahan,
kepatuhan, ketundukan, dan perdamaian” (nu.or.id). Agama ini memiliki lima
ajaran pokok sebagaimana diungkapkan Nabi Muhammad, yaitu “Islam adalah
bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa dan menunaikan
haji—bagi yang mampu.” (nu.or.id). Selain itu Islam memiliki dua pedoman yang
selalu dirujuk, Alquran dan Hadith. Keduanya memuat ajaran yang membimbing umat
manusia beserta alam raya ke arah yang lebih baik dan teratur.
Nusantara
adalah istilah yang menggambarkan wilayah kepulauan dari Sumatera hingga Papua.
Kata ini berasal dari manuskrip berbahasa Jawa sekitar abad ke-12 sampai ke-16
sebagai konsep Negara Majapahit. Sementara dalam literatur berbahasa Inggris
abad ke-19, Nusantara merujuk pada kepulauan Melayu. Ki Hajar Dewantoro, memakai
istilah ini pada abad 20-an sebagai salah satu rekomendasi untuk nama suatu
wilayah Hindia Belanda (Kroef 1951, 166–171). Karena kepulauan
tersebut mayoritas berada di wilayah negara Indonesia, maka Nusantara biasanya
disinonimkan dengan Indonesia. Istilah ini, di Indonesia secara konstitusional
juga dikukuhkan dengan Keputusan Presiden (Kepres) MPR No.IV/MPR/1973, tentang
Garis Besar Haluan Negara Bab II Sub E. Kata Nusantara ditambah dengan kata
wawasan.
Berdasarkan
pengertian di atas, IN adalah ajaran agama yang terdapat dalam Alquran dan
Hadith yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad yang diikuti oleh penduduk asli
Nusantara (Indonesia), atau orang yang bertempat tinggal di dalamnya. Namun
jika dikaitkan dengan pandangan setiap muslim atau organisasi Islam tertentu,
konsep IN akan menjadi kompleks.
Pedebatan mengenai istilah IN di
kalangan intelektual NU terletak pada label kata “nusantara” yang mengikuti
kata “Islam”. Kata ini bisa memengaruhi makna Islam yang tidak hanya dimaknai
secara normatif, tapi juga variatif. Ketika Islam dan Nusantara menjadi frase
Islam Nusantara, artinya sangat beragam. Tergantung cara padang atau pendekatan
keilmuan yang dipakai.
Pertama, pendekatan filosofis memunculkan lima istilah. IN adalah istilah
yang bersifat non-positivistik, pisau analisa, islam subtantif , dan sebagai
sistem nilai.
Kedua, pendekatan budaya. Pendekatan ini memunculkan tiga istilah, yaitu
IN sebagai Islam bahari, Islam sehari-hari, dan model.
Ketiga, pendekatan linguistik yang memunculkan istilah Islam fi Indonesia.
Keempat, pendekatan filsafat hukum yang memunculkan istilah Islam sebagai
metodologi.
Kelima, pendekatan hukum yang memunculkan istilah fikih nusantara. Istilah
ini dimunculkan oleh KH Afifuddin Muhajir (nu.or.id).
Keenam, pendekatan historis-antropologis yang memunculkan dua istilah,
yaitu Islam Khas Indonesia dan islam budaya nusantara.
Ketujuh, pendekatan historis-filologis yang memunculkan dua istilah, yaitu
Islam empirik yang terindegenisasi dan pemikiran khas Indonesia.
Kedelapan, pendekatan sosiologis-antropologis-historis yang memunculkan IN
sebagai islam faktual.
Dalam
menjelaskan konsep ini, intelektual NU memberikan frasa (istilah lain) lagi
yang memberikan spesifikasi maknanya. Selain itu, IN memosisikan Islam sebagai
sistem nilai, teologi, dan fiqih-ubudiyyah
yang memengaruhi budaya Indonesia dengan karaktersitik tertentu. IN
yang mampu berdialog dengan budaya Indonesia dengan damai, tanpa kekerasan,
serta pengakuan tokoh-tokoh dunia, maka para intelektual NU ingin
mendakwahkannya pada skala Internasional.
- B. Islam Nusantara dan tantangan Ahlussunnah
Isu Islam Nusantara menjadi wacana
baru bagi masyarakat islam di Indonesia. Beragam kalangan
bersuara dalam menanggapi isu ini.
Setidaknya, penulis menilai
ada tiga sikap yang ditunjukkan dalam merespon isu ini. Pertama,
menerima. Kedua, menolak, dan ketiga, bersikap
kritis.
Terlepas dari perdebatan itu, tentu kita khawatir isu ini akan
menggelinding menjadi bola panas yang memecah persatuan Ahlussunnah. Buntut dari
perpecahan ini hanya akan melemahkan kekuatan Ahlussunnah wal Jamaah yang kini
tengah dibangun para ulama.
Hubungan Ulama
Nusantara-Timur Tengah
Jika kita menelisik sejarah, banyak kontribusi yang diberikan ulama
Timur Tengah bagi perkembangan Islam di Indonesia. Kala itu, hubungan antara
ulama Nusantara dengan ulama Arab terjalin begitu kuat. Mereka mendidik para
ulama Nusantara dengan gigih dan ikhlas. Tak sedikit para ulama Nusantara itu
akhirnya besar menjadi ulama di Timur Tengah dari Syekh Abdusshomad al
Palimbani, Syekh Yusuf Makassari, Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi, hingga
Syekh Mahfudz at Turmusi asal Termas.
Tentu kita khawatir kontroversi isu Islam Nusantara akan
dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang sejak awal tidak menghendaki persatuan
kaum muslimin. Apalagi di tengah menghangatnya suhu politik di Timur Tengah.
RAND Corporation, misalnya, pada tahun 2007 sudah melihat gejala
kebangkitan kaum muslim di Timur Tengah untuk keluar dari hegemoni barat. RAND
menilai situasi ini membahayakan bagi barat. Terlebih landasan perlawanan kaum
muslimin itu selalu meletakkan dasar agama dalam berjuang. Tidak hanya itu,
lembaga kajian yang dibayar untuk memberikan masukan bagi pemerintah AS ini
juga melaporkan adanya kesadaran masyarakat dunia, untuk kembali kepada ajaran
Islam. [Lihat RAND, Networking Challenges: The Cold War and the Middle East
Today, 2007].
RAND sadar, melawan hegemoni umat Islam tidak cukup dengan
memeranginya. Apalagi langkah ini akan menyedot dana yang besar sekaligus
membangkitkan solidaritas jihad global kaum muslimin. Maka untuk mengantisipasi
itu, ada langkah yang lebih minim resiko, yakni dengan mengadu domba umat Islam
dari dalam.
RAND menyebut salah satu taktik yang
dipakai adalah memanfaatkan isu furu’, isu “tradisional” dan “transnasional”
agar kaum muslimin saling curiga hingga membuat mereka lemah dalam ukhuwah dan
kalah dalam siyasah. Jika tidak hati-hati, momentum ini juga akan dimanfaatkan
oleh kelompok Syiah. Tak bisa disangkal bahwa berkembangnya Syiah akan
berbanding lurus dengan melemahnya Ahlussunnah.
Hal ini yang pernah dimanfaatkan Dinasti Fathimiyyah yang
berkembang dari Afrika Utara hingga wilayah Hijaz di saat Khilafah Abbasiyah
mengalami kemunduran. Kemunduran khilafah saat itu utamanya bukan terjadi
karena kehebatan musuh, tapi masalah internal di kalangan Ahlussunnah sendiri.
Egoisme antar mazhab merebak, perebutan kekuasaan terjadi, dan kemewahan
menghinggapi penguasa.
Problem mendasar inilah yang secara cermat ditangkap Imam Ghazali
dan dipecahkan dengan melakukan perbaikan di dalam tubuh Ahlussunnah. Cara yang
ditempuh Imam Ghazali saat itu dengan memperkuat basis keilmuan untuk mencetak
para alim ulama melalui Madrasah Nizhamiyah (higher education). Hasilnya,
madrasah nizhamiyah melahirkan para ulama yang tawasuth, ikhlas, berintegritas,
dan menjunjung tinggi semangat persatuan Islam. Lahirnya para ulama ini pula
yang membuka jalan kembali dibebaskannya wilayah kaum muslimin dari cengkraman
Syiah.
- C. “Islam Nusantara’’ : Islamisasi Nusantara atau Menusantarakan Islam?
Agus Sunyoto,
budayawan pengkaji sejarah
Nasional, menjelaskan istilah ini. “Definisi Islam Nusantara, menurut
saya, adalah Islam
yang berkembang di Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau Nusantara yang memiliki
ciri khas tersendiri. Dari segi
terminologi, istilah “Islam Nusantara” sebenarnya kurang tepat. Karena bisa
membawa pada pengertian bahwa Islam Nusantara merupakan bagian dari jenis-jenis
Islam yang banyak. Kita harus menyatakan bahwa Islam itu satu dan tidak plural
(banyak). Adapun yang tampak banyak, sebenarnya adalah ‘madzhab’, aliran
pemikiran, pemeluk dan lain-lain, bukan Islam itu sendiri.
Prof. Syed M. Naquib al-Attas, pakar sejarah Islam Melayu,
menekankan pemakaian bahasa secara benar sehingga makna yang benar mengenai
istilah dan konsep kunci yang termuat didalamnya tidak berubah atau dikacaukan.
Setiap terminologi kunci mengandungkan sebuah paradigma (Syed M Naquib
al-Attas,Islam dan Sekularisme, hal. 198).
Karena itu, term ‘Islam’ tidak memerlukan predikat atau sifat lain.
Jika Islam diberi sifat yang lain, justru akan mempersempit Islam itu sendiri.
Maka, dalam hal ini seharusnya yang lebih tepat adalah menggunakan frase
“Muslim Nusantara”, karena hakikatnya pemeluk Islam itu terdiri dari banyak bangsa
dan suku, termasuk didalamnya Muslim yang ada di Nusantara ini. Atau lebih
tepat menggunakan istilah “Islam di Nusantara”. Karena agama Islam telah
menyebar luas ke seluruh dunia, termasuk di Nusantara.
Kesan Islam itu plural dalam term
“Islam Nusantara” dapat diduga merupakan bagian dari misi Liberalisasi agama
Islam. Pemahaman bahwa Islam itu tidak satu tapi banyak merupakan proyek
liberalisasi dengan mengusung ideologi relativisme dan pluralisme. Menggiring
kepada sikap pembiaran terhadap model-model Islam yang lain yang belum tentu
sesuai dengan ajaran Islam. Aroma relativisme dan permisivisme mendompleng
dalam terminologi “Islam Nusantara” bisa disimak dalam pendapat Agus Sunyoto.
Dia mengatakan: “Kalau dikumpulkan ya kelompok-kelompok dari aliran kepercayaan
macam-macam itu sebetulnya yang mewarisi Islam Nusantara. Saya lama meneliti
golongan kebatinan yang beraneka ragam. Karena mereka memiliki traidisi yang
sama, tradisi kebudayaan dan keyakinan yang sama pula” (majalah AULA, Mei 2014
hal. 17).
Walisongo bisa menjadi contoh bagaimana seharusnya menyatukan
dakwah dan tradisi lokal tanpa menabrak akidah. Walisongo memasukkan pandangan
hidup Islam kepada tradisi-tradisi yang bisa diafirmasi. Salah satu
keberhasilan para dai penyebar agama Islam di Nusantara adalah melalui bahasa.
Proses pengislamannya salah satunya dengan memasukkan term-term Arab-Islam ke
dalam bahasa lokal. Ada banyak kosa kata bahasa Melayu dan Indonesia yang
diserap dari bahasa Arab. Misalanya kosa kata ‘akal’, ‘musyawarah’, ‘adil’, ‘adab’,
‘akhlak’, ‘dewan’, ‘kalimat’, ‘khutbah’, ‘jama’ah’, ‘kursi’, ‘zahir’, ‘batin’,
‘kalbu’, ‘kuliah’, dan lain sebagainya.
Sejak berabad-abad lamanya Indonesia merupakan bumi Aswaja, bukan
bumi Liberal. Tiga setengah abad Indonesia dijajah Belanda, namun Indonesia
masih berpegang pada tradisi Islam, bukan tradisi Barat-Kristen. Hal ini
menunjukkan akar Islamisasi di bumi Nusantara ini sangat kuat.
Dan yang juga penting, Al-Attas
mencatat, bahwa kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan
peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. Melayu kemudian menjadi
identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam
peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke
arah terbentuknya kesadaran nasional (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, hal. 178).
- D. Karakteristik Islam Nusantara
a)
Fiqh
1.
Sempurna. Syariat Islam diturunkan dalam bentuk
umum dan garis besar. Karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah
karena perubahan masa dan tempat.
2.
Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut,
syariat Islam dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal dan dapat
diterima di semua tempat dan di setiap saat.
3.
Penetapan al-Qur’an terhadap hukum dalam bentuk
global dan simple.
4.
Elastis. Fiqih Islam juga bersifat elastis (lentur
dan luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia.
5.
Universal dan Dinamis. Ajaran Islam bersifat
universal, ia meliputi alam tanpa batas, tidak seperti ajaran-ajaran Nabi
sebelumnya. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘ajam (non arab), kulit putih
dan kulit hitam.
6.
Bukti yang menunjukkan apakah hukum Islam memenuhi
sifat tersebut atau tidak, harus dikembalikan kepada al-Qur’an, karena
al-Qur’an merupakan wadah dari ajaran Islam yang diturunkan Allah kepada
umatnya di muka bumi.
7.
Sistematis. Arti dari pernyataan bahwa hukum Islam
itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum Islam itu mencerminkan sejumlah
doktrin yang bertalian secara logis.
8.
Perintah sholat dalam al-Qur’an senantiasa diiringi
dengan perintah zakat.
9.
Hukum Islam Bersifat Ta’aqquli dan Ta’abbudi. Hukum
Islam mempunyai dua dasar pokok; al-Qur’an dan sunnah Nabi.
10.
Untuk memahami kedua sumber tersebut perlu
digunakan kejernihan hati dan fikiran, kecerdasan dan pengetahuan dan
mempertimbangkan konteks masyarakat yang ada.
b)
Teologi
Islam nusantara adalah islam di wilayah
melayu (Asia tenggara). Karakter diktrinalnya adalah berpaham Asy’ariyah dari
segi kalam (teologi), berfikih mazhab syafi’i sekaipun menerima mazhab yang
lainnya dan menerima tasawuf model Imam Ghazali.
c) Tasawuf
Dengan tasawuf, bentuk islam yang
diajarkan kepada para penuduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam
pikiran mereka yang sebelumnya memeluk agama hindu, sehingga ajaran islam
dengan mudah diterima mereka.
- E. Walisongo dan Islam Nusantara
Ada 2 masalah terkait definisi dan istilah Islam Nusantara, Pertama, dari segi definisi, banyak
tokoh Muslim yang menolak pengistilahan tersebut. Sebut saja Ismail Yusanto
menolak pengistilahan tersebut dengan alasan bahwa tidak fair membandingkan
Timur Tengah sekarang dengan Indonesia pada tahun 2015. Sebab dalam inti ajarannya, dari dulu hingga
sekarang antara Islam di Indonesia dan di Timur Tengah banyak memiliki
kesamaan, contohnya kerangka “melawan penguasa diktator”.
Dalam satu tulisannya Khalili Hasib juga menjelaskan jika sifat
Nusantara disandarkan pada kata Islam, maka itu akan menyempitkan makna Islam
itu sendiri. Seakan-akan Rasulullah mempraktikkan Islam di Arab ketika itu,
khusus hanya untuk kalangan Arab. Sementara di Indonesia juga memiliki Islam
jenis lain, dan tentu ini tidak benar.
Masalah kedua adalah istilah Islam Nusantara ini ternyata dibangun
atas pemahaman yang kurang tepat atas dakwah ulama Indonesia masa lalu. Bagi
para pengusung Islam Nusantara, metode dakwah para ulama dahulu seperti
Walisongo adalah bukti nyata bagaimana Islam Nusantara diterapkan. Lestarinya
slametan, tahlilan, gamelan, wayang, ziarah ala jawa merupakan produk nilai
Islam yang dinusantarakan dan menjadi bentuk keberislaman masyarakat Indonesia
hingga sekarang. (nu.or.id)
Padahal, jika mau mengkaji lebih dalam lagi maka dapat dibuktikan
bahwa menjadikan metode ulama Indonesia seperti Walisongo untuk membenarkan
konsep Islam Nusantara kuranglah tepat. Lestarinya Slametan, tahlilan, dan
gamelan bukanlah usaha menusantrakan nilai Islam, justru upaya keras Walisongo
mentauhidkan masyarakat yang ketika itu sangat terpengaruh ajaran Hindu-Budha.
Peranan
walisongo dalam penyebaran agama Islam antara lain :
1. Sebagai pelopor penyebarluasan
agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal ajaran Islam di
daerahnya masing-masing.
2. Sebagai para pejuang yang gigih
dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.
3. Sebagai orang-orang yang ahli di
bidang agama Islam.
4. Sebagai orang yang dekat dengan
Allah SWT karena terus-menerus beribadah kepada-Nya, sehingga memiliki
kemampuan yang lebih.
5. Sebagai pemimpin agama Islam di
daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak
di kalangan masyarakat Islam.
6. Sebagai guru agama Islam yang gigih
mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
7. Sebagai kiai yang menguasai ajaran
agama Islam dengan cukup luas.
8. Sebagai tokoh masyarakat Islam yang
disegani pada masa hidupnya.
Adapun Pendekatan Islam yang dilakukan
Walisongo ada lima, yakni: pendekatan
teologis, ilmiah, kelembagaan, sosial, dan kultural.
Komentar
Posting Komentar