''Islam dan Manusia''
1.
Ajaran Islam tentang Penciptaan Manusia
Kejadian
penciptaan manusia yang pertama diterangkan berasal dari tanah liat kering yang
kemudian diberi bentuk. Beberapa pemikir mengajukan pemahaman yang berbeda
terkait dengan penciptaan Nabi Adam yang merupakan manusia pertama. Ada yang
berpendapat bahwa nabi Adam berasal lansung dari tanah dan ada pula yang
berpendapat bahwa nabi Adam adalah manusia yang diberi hidayah dari keturunan
makhluk sebelumnya.
Dalam
QS. As Sajadah Allah Berfirman :
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ ۖوَبَدَأَ
خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah”.
ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ
مَهِينٍ
”Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina (air mani)”.
Dari ayat dia tas dapat disimpulkan bahwa Allah menciptakan
nabi Adam lansung dari tanah. Manusia selanjutnya merupakan keturunan nabi Adam
diciptakan melalui proses lahir dari perut ibunya termasuk nabi Isa.
Jika Allah berkehendak,
menciptakan makhluk yang tidak memiliki ibu dan ayah seperti kelahiran manusia
biasa adalah hal yang mudah. Peristiwa penciptaan nabi Isa yang hanya memiliki
ibu adalah seperti penciptaan nabi Adam yang bahkan tidak memiliki ibu dan
ayah. QS. Ali Imran ayat 59 :
إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ ٱللَّهِ كَمَثَلِ ءَادَمَ خَلَقَهُۥ مِن
تُرَابٍ ثُمّ قَالَ لَهُۥ
كُن فَيَكُون
“Sesungguhnya misal (penciptaan) ’Isa di
sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari
tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka
jadilah dia”.
Kejadian penciptaan
nabi Isa adalah tanpa ayah, namun dilakukan secara bertahap di dalam rahim
Maryam. Persamaan penciptaan nabi Adam dan nabi Isa, mungkin tidak hanya dari
ketiadaan ayah, namun juga dari segi perkembangannya. Kita tidak tau persis
bagaimana nabi Adam diciptakan menjadi makhluk hidup. Dalam QS. Shad ayat 75:
قَالَ يَٰٓإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن
تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَىَّ ۖ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ ٱلْعَالِينَ
“Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu
sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk golongan yang (lebih)
tinggi?”
Kalimat
kholaqtu bi yadayya ditafsirkan dengan cara berbeda o;eh para ulama. Ada
yang menafsirkan sebagai “aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku”, namun ada yang
memaknai kata tangan dengan “kekuasaan”. Pernyataan dalam ayat tersebut bahwa
nabi Adam diciptakan dengan kedua tangan Allah, artinya melalui suatu proses.
Keterangan tentang penciptaan manusia selanjutnya yang
merupakan keturunan nabi Adam dijadikan dari saripati tanah,dinyatakan dalam
QS. Al Mu’minun ayat 12-13:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ
“Dan
sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah”.
ثمَّ
جَعَلْنٰهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ
“Kemudian
Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)”.
Manusia dijadikan dari sel telur yang dibuahi oleh
sperma yang dihasilkan dari saripati tanah dan diolah oleh tubuh manusia.
Kata sulalah dapat diartikan sebagai saripati
atau inti sari, sementara kata nuthfah dapat diartikan satu tetes air. Nuthfah
yang dihasilkan disimpan di dalam rahim. Nuthfah yang disimpan ini
adalah nuthfah yang telah bercampur atau nuthfah amsyaj yang
berarti tetesan yang bercampur dari dua air.
إنَّا خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ
فَجَعَلْنَٰهُ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani
yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan
larangan),karena itu Kami jadikan mereka mendengan dan melihat.”
Nuthfah yang disimpan dalam
rahim tersebut mengalami proses
sebagimana yang diterangkan dalam
surah Al mu’minun ayat 14. Proses tersebut tdak diketahui pada zaman
Rasulullah, namun sesuai dengan penelitian tentang perkembangan janin yang
dilakukan ilmuan saat ini.
ثُمَّ
خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا
الْمُضْغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوْنَا الْعِظٰمَ لَحْمًا ثُمَّ اَنْشَأْنٰهُ خَلْقًا
اٰخَرَۗ فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَۗ
“Kemudian,
air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami
menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang
paling baik”.
Perkembangan embrio dalam rahim untuk menjadi fetus
memerlukan waktu 8 minggu atau 56 hari setelah sel telur dibuahi.[1]
Setelah 8 minggu, mulai terbentuk struktur utama janin. Perkembangan nuthfah
berjalan secara bertahap, mulai dari pembelahan sel menjadi dua bagian pada
hari pertama, kemudian menjadi empat bagian pada hari kedua, hari ketiga
menjadi 6 sampai 12 sel, dan hari keempat menjadi 16 sampai 32 sel blastomer.
Pada hari keempat, terbentuk sel berbentuk bola padat yang disebut morula. Pada
hari kelima morula berubah menjadi blastula yang memiliki rongga yang berisi
cairan. Pada hari kelima ini,pembuahan disebut balstoscyst. Pada hari keenam
dan ketujuh, blastocyst tersebut menempel di dinding rahim. Al Qur’an
menyatakan bahwa embrio yang menempel tersebut merupakan gumpalan darah yang
bersifat menempel atau ‘alaq. Kata ‘alaq atau ‘alaqah berasal dari ‘alaqa yang
artinya sesuatu yang membeku, tergantung atau berdempet, sehingga ditafsirkan
sebagai gumpalan darah yang bersifat seperti lintah yang menempel did dinding
rahim.
Tahap selanjutnya dari perkembangan ‘alaq adalah
menjadi mudhghah atau segumpal daging. Mudhghah berasal dari mudhagha yang
berarti daging kecil yang dapat dikunyah. Berdasarkan penelitian diketahui
bahwa pada hari kesepuluh gumpalan darah yang berada dalam rahim berubah
menjadi segumpal daging kecilyang disebut yolk sac. Pada hari kesepuluh
sampai hari keempat belas, kehamilan mulai stabil danpada yolk sac mulai
terbentuk sel darah, kepingan embrionik, dan chorion/plasenta.
Pada hari kelima belas sampai kedua puluh satu mulai
muncul jaringan pada embrio yang akan menjadi tulang dan otot. Daging calon
janin memiliki tiga lapisan jaringan yaitu ektodermis yang akan menjadi cikal
bakal epidermis, mesodermis yang merupakan cikal bakal somites yang akan
berubah menjadi tulang dan otot, dan endodermis yang akan berubah menjadi cikal
bakal sistem pencernaan dan pernapasan.
Pada minggu ketiga sampai minggu kedelapan mulai
terbentuk embrio yang memiliki tulang belakang. Tulang tersebut dibalut dengan
damaging sesuai dengan keterangan surah Al Mu’mimun ayat 14. Tahapan calon
janin mengalami perubahan dari darah menjadi tulang, kemudian tulang tersebut
dibalut daging. Terbentuknya mesodermis yang berubah menjadi somites dan
akhirnya menjadi tulang yang dibalut daging menunjukkan bahwa tahapan perkembangan
calon janin memang mengikuti keterangan yang dinyatakan dalam Al Qur’an.
Perkembangan selanjutnya adalah perubahan embrio
menjadi fetus pada minggu kedelapan atau hari ke lima puluh enam. Pada hari
keempat puluh sebenarnya telah mulai terbentuk jari tangan dan kepala menjadi
lebih besar. Bentuk fetus adalah bentuk janin yang hamper sempurna dan sudah
menyerupai bentuk manusia. Bentuk inilah yang dinyatakan dalam surah Al
Mu’minun ayat 14 sebagai “makhluk lain”.
Tahapan penciptaan manusia di dalam janin dilakukan
secara bertahap dan perkembangan mental serta kemampuan berfikirnya juga
mengalami kemajuan bertahap. Perkembangan calon janin sampai terbentuknya fetus
merupakan tahapan penciptaan yang ditetapkan Allah, seperti dinyatakan dalam
firman-Nya QS.Nuh ayat 14:
وقَدْ
خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا
“Dan
sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian).”
Perintah untuk mengamati dan memikirkan kejadian
pemebentukan manusia dinyatakan dalam surah At Thariq ayat 5-7. Penelaahan
kejadian pembentukan janin di dalam rahim dapat menimbulkan kesadaran akan
kebenaran Al Qur’an dan kenyatan asal muasal manusia yang diciptakan dari
setetes air.
“Maka hendaklah
manusia memperhatikan dari apa di diciptakan. Dia diciptakan dari air (mani)
yang terpancaar, yang keluar dari antara
tulang punggung (sulbi) dan tulang dada.”
Allah
menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna melebih makhluk
lain. Hal ini disebutkan dalam QS. At Tin ayat 4:
لَقَدْ
خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
2.
Manusia sebagai Khalifah Allah di Bumi
- Dalam konteks Spiritual
Manusia sebagai Khalifah Allah di Bumi maksudnya
adalah tiada lain merupakan tujuan dari diciptakannya manusia itu sendiri.
Manusia keluar dari rahim ibunya hingga masuk ke liang lahat bukan hanya untuk
bersenang-senang, tetapi ada tujuan dari penciptaanya. Ada perintah yang harus
dilaksanakan, ada larangan yang harus dijauhi, dan ada peraturan yang harus di
taati oleh manusia, yang pada saatnya akan dimintai pertanggungjawabannya.
Dibalik perintah dan larangan itu, ada hikmah atau manfaat dari suatu perbuatan
dan rahasia di balik sesuatu yang ditetapkan Allah, yang tidak selalu secara
cepat bisa diketahui manusia.
Tujuan diciptakannya manusia ini bisa dilihat pada dialog antara Allah
SWT dengan para malaikat ketika hendak menciptakan manusia, dalam Surat al-Baqarah
(2) ayat 30 :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka (para malaikat) berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
M. Quraish Shihab, dalam menafsirkan kata khalifah
pada ayat di atas menjelaskan, bahwa kata “khalifah” pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah
siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata
Khalifah di sini dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan
kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Tetapi hal ini tidak
berarti karena Allah tidak mampu, atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai
Tuhan, sama sekali TIDAK! Allah bermaksud dengan pengangkatan itu untuk menguji
manusia dan memberinya penghormatan. Jadi, esensi tujuan penciptaan manusia
adalah bahwa Allah hendak memberi tugas kepada manusia sebagai khalifah Allah di bumi, yaitu melaksanan
amanah sesuai tuntutan Allah dan
Rasul-Nya dalam surah ad-Dzariyat (51), ayat 56-58, yang artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki
supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhya Allah, Dialah Maha Pemberi reseki
Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kukuh.
M.Quraish Shihab dalam menafsirkan kata “liya’buduun’ pada ayat di atas
menjelaskan, bahwa bukan berarti agar
supaya mereka itu beribadah, atau agar Allah disembah. Pemaknaan seperti
ini dipandang mustahil sebab Allah tidak membutuhkan sesuatu. Dari sini bisa
dipahami, bahwa tujuan penciptaan manusia itu bukan untuk Allah, melainkan
untuk diri manusia itu sendiri. Jadi bila dalam ayat ini dikatakan agar manusia
beribadah, maka manfaat ibadah yang dilakukan manusia itu bukan untuk Allah,
tapi sangat bermanfaat untuk manusia itu sendiri.
Berdasarkan pemaparan dari dua ayat di atas bisa
dipahami, bahwa tujuan penciptaan manusia itu agar manusia melaksanakan amanah sebagai khalifah Allah di bumi dan sekaligus beribadah kepada-Nya. Artinya jika amanah yang dibebankan kepada manusia
dan atau ibadah yang harus
dilaksanakan manusia itu dilaksanakan sesuai tuntunan Allah, niscaya manfaat atau hikmah dari menjalankan amanat dan melaksanakan ibadah itu untuk
manusia sendiri.[3]
2. Dalam
konteks Intelektual
Sebagai makhluk yang diciptakan Allah SWT untuk menghambakan
diri kepada-Nya (ayat 56-58 surah adz-Dzariyat seperti yang telah di uraikan
dalam point sebelumnya), manusia memerlukan pangan untuk hidup, sandang untuk
melindungi diri dari suhu alam di sekitarnya dan papan demi keselamatannya dari
makhluk hidup lain di tempat itu. Usaha-usaha untuk memperoleh sandang, pangan,
dan papan itu dapat kita maklumi, dan untuk itu manusia di beri akal dan
ditunjuk oleh Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi sebagaimana
tercantum diantaranya dalam ayat 165 surat al-An’aam:
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggalkan sebagian dari kamu atas sebagian
yang lain beberapa tingkat, untuk mengujimu atas apa yang telah diberikan-Nya
kepadamu.”
Sehubungan dengan peranannya sebagai hamba Allah dan
khalifah di muka bumi, manusia diperintahkan untuk mencari kebahagiaan
sebagaimana tersurat dalam ayat 77 surah al-Qashash:
“Dan raihlah kebaahagiaan akhirat dari apa
yang dianugerahkan Allah kepadamu dan janganlah melupakan bagianmu (atau
mengabaikanmu) di dunia; dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik
kepadamu dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai mereka yang berbuat kerusakan”.
Manusia diarahkan oleh Allah untuk mendapatkan kebahagiaan
akhirat tanpa mengabaikan nasibnya didunia. Sehubungan dengan perintah ini,
alangkah baiknya merefleksikan Hadits Rasulullah SAW:
“Barangsiapa menginginkan (kebahagiaan)
dunia, maka ia harus memiliki ilmunya; barangsiapa menghendaki (kebahagiaan)
akhirat, ia harus memiliki ilmunya dan siapapun yang ingin meraih keduanya,
maka ia harus memiliki ilmunya (ilmu keduniaan dan akhirat)”.
Petunjuk ini membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa
sebagai hamba Allah yang diciptakan untuk hidup dibumi, manusia harus menguasai
ilmu keakhiratan dan ilmu keduniaan yang diperlukan. Sebagai penguasa, manusia
boleh memanfaatkan alam di sekelilingnya bagi kelangsungan hidupnya, dengan
tanpa merusaknya; ia bertanggungjawab atas pelestariannya. Oleh karenanya, ia
tidak dapat berbuat lain kecuali harus mengahlikan penguasaan dirinya dalam
beribadah kepada Allah dan mengelola alam disekitarnya. Sebagai perwujudan
perilaku dari amanat Allah bahwa manusia adalah Khalifah dimuka bumi, sedangkan
untuk memperoleh kemampuan mengelola alam sekitar, manusia harus mengenal alam
lingkungannya dengan sebaik-baiknya, yang tiada lain memperoleh hikmah atau
manfaat bagi manusia dari pengejawantahan ketentuan ketentuan Allah SWT.[4]
Komentar
Posting Komentar