''Budaya Politik di Indonesia dan Civil Society''
A. Pengertian Budaya Politik
Budaya berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu budhayah, bentuk jamak dari budhi yang artinya akal. Dengan
demikian, budaya diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal atau
budi. Budaya adalah segala yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan kemampuan
akalnya. Budaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)
Dapat dipelajari,
2)
Dapat diwariskan dan
diteruskan,
3)
Hidup dalam masyarakat, 4)
Dikembangkan dan berubah, 5) Terintegrasi.
Adapun politik berasal dari bahasa
Yunani polis dan teta. Polis berarti kota atau Negara kota, teta berarti
urusan. Dengan demikian, politik berarti urusan negara (pemerintahan).
Budaya politik dapat di artikan
sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan
kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya..
Pada umumnya
istilah politik dapat diartikan sebagai bermacam-macam kegiatan dalam suatu
system politk atau Negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari
system itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Secara terminologis
Budaya politik adalah suatu nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh
masyarakat, namun setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya.
Sedangkan menurut para ahli, yaitu :
a. Almond and Verba (1990:178), budaya politik adalah suatu sikap orientasi
khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya serta sikap
terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Lebih kepada
mengidentifikasikan diri dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan.
b. Alan R Ball , Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri
dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan
dengan sistem politik dan isu politik.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa
budaya politik adalah bagian dari ciri-ciri yang khas meliputi legitimasi,
pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan, kegiatan partai politik,
pelaku aparat negara serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang
memerintah.
Adapun komponen-komponen dalam budaya politik,
menurut Almond dan verba, yaitu :
1.
Orientasi kognitif : berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan
pada politik, peranan dan gejala kewajibannya serta input dan output.
2.
Orientasi afektif :
perasaan terhadap sistem politik pada aktor dan penampilnya.
3.
Orientasi evaluatif :
keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik secara tipikal melibatkan
standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
B. Bentuk-Bentuk Budaya Politik
1. Budaya Subjek Parochial (The Parochial Subject Culture)
Pada masyarakat dengan bentuk budaya subjek parochial
terdapat sebagian besar yang menolak tuntutan-tuntutan ekslusif masyarakat.
Pada kegiatan politik hanyalah salah satu bagian yang penting.
2. Budaya Subjek Partisipan (Subject Participant Culture)
Masyarakat yang memiliki bidang prioritas peralihan
dari objek ke partisipan akan cenderung mendukung pembangunan dan memberikan
dukungan yang besar terhadap system politik demokrasi.
3. Budaya Parochial Partisipan (The Parochial Participant Culture)
Budaya politik ini banyak didapati di
negara-negara yang relative masih muda (negara-negara yang berkembang). Pada
tatanan ini terlihat negara-negara tersebut sedang giat melakukan
pembangunan,termasuk didalamnya ialah pembangunan kebudayaan.
Berdasarkan klasifikasi parochial,
subjek, dan partisipan. Almond membuat tiga model tentang kebudayaan politik
dan disebut model orientasi terhadap pemerintahan dan politik :
a. Masyarakat demokratis industrial
Kelompok ini selalu mengusulkan kebijaksanaan –
kebijaksanaan baru dan melindungi
kepentingan khusus mereka.
b. System otoriter
Dalam model ini terdapat beberapa kelompok masyarakat
yang memiliki sikap politik berbeda.
Mendiskusikan masalah-masalah pemerintahan dan aktif
dalam lobbying.
c. System demokratis praindustriil
Dalam negara dengan model seperti
ini hanya sedikit sekali partisipan yang terutama dari professional terpelajar,
usahawan dan tuan rumah.
C. Tipe-Tipe Budaya Politik
a) Tipe Budaya Politik Berdasarkan Sikap yang Ditunjukkan
1) Budaya Politik Militan
2) Budaya Politik Toleransi
b) Tipe Budaya Politik Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan
perubahan, budaya politik dapat digolongkan sebagai berikut.
1) Budaya Politik yang Memiliki Sikap Mental Absolut
Tipe absolut
dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang
membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang
berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan.
2) Budaya Politik yang Memiliki Sikap Mental Akomodatif
Tipe akomodatif
dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk
dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih
sempurna.
c) Tipe Budaya Politik Berdasarkan Orientasi Politik
Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik
sebagai berikut :
1.
Budaya Politik Parokial
Ciri-Ciri :
a) Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai objek umum,
objek-objek input, objek-objek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif
mendekati nol.
b) Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.
c) Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan terhadap
perubahan komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.
d) Kaum parokial tidak mengharapkan apa pun dari sistem politik.
e) Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang
lebih sederhana ketika spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.
f) Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih
bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.
2.
Budaya Politik Kaula atau
Subjek
Ciri-ciri
:
a) Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem
politik yang diferensiatif dan aspek
output dari sistem itu. Akan tetapi, frekuensi orientasi terhadap
objek-objek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif
mendekati nol.
b) Para subjek menyadari adanya otoritas pemerintah.
c) Hubungannya terhadap sistem politik secara umum dan terhadap
output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.
d) Orientasi subjek lebih bersifat afektif dan normatif daripada
kognitif.
Tipe budaya kaula atau subjek ini antara
lain diterapkan oleh golongan bangsawan Prancis. Mereka sangat menyadari adanya
institusi demokrasi, tetapi secara sederhana hal ini tidak memberi keabsahan
kepada mereka.
3.
Budaya Politik Partisipan
Ciri-ciri :
a) Frekuensi orientasi politik sistem sebagai objek umum,
objek-objek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
b) Bentuk kultur politik anggota-anggota masyarakat cenderung
diorientasikan secara eksplisit.
Masyarakat pun aktif terhadap sistem politik secara komprehensif. Selain
itu, masyarakat juga aktif terhadap struktur dan proses politik serta
administratif (aspek input dan output sistem politik).
c) Anggota masyarakat bersikap partisipatif terhadap objek politik
(tingkat partisipasi masyarakat sangat tinggi).
d) Masyarakat berperan sebagai aktivis.
D. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, secara gamblang
duet pemimpin Dwi tunggal, Soekarno dan Mohammad Hatta telah mendeklarasikan Indonesia Merdeka sebagai sebuah
negara yang demokratis karena pada kalimat terakhirnya dikatakan dalam Teks Proklamasi 17
Agustus
1945 adalah “atas nama bangsa Indonesia”,
bila dikaitkan dengan definisi bangsa, maka yang dimaksud adalah seluruh rakyat
Indonesia. Jadi kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan yang diperuntukkan
bagi rakyat Indonesia sendiri.
Meskipun telah mencapai konsensus
kemerdekaan sebagai sebuah bangsa, tetapi setiap tokoh pergerakan dan pelopor kemerdekaan
Indonesia memiliki
konsepsi demokrasinya masing-masing, kebanyakan dari mereka berusaha menengahi
dualisme penafsiran demokrasi dari Negara Barat yang liberalis dengan Negara Timur yang komunis, terutama dalam
merumuskan tentang kebebasan politik yang diadopsi dari demokrasi Barat dan
kemerataan ekonomi yang ditiru dari demokrasi Timur.
Namun, terkadang beberapa tokoh kemudian memiliki kecenderungan masing-masing,
entah itu kecenderungan pada Barat ataupun Timur, yang kemudian menjadi ciri
khas dari perkembangan demokrasi di Indonesia.
1. Demokrasi Parlementer
Era demokrasi
parlementer di
Indonesia, juga sering kali disebut sebagai era demokrasi konstitusional.[1]
Munculnya sistem parlementer di Indonesia karena jatuhnya kabinet Presidensial
Pertama pada 14 November 1945 yang disebabkan oleh keluarnya Maklumat Wakil
Presiden No. X/1945 pada
16 Oktober 1945 dan diikuti kemudian oleh Maklumat
Pemerintah pada 3
November 1945 yang berisi tentang seruan untuk mendirikan partai-partai politik
di Indonesia.[2]
Keberlanjutan dari Maklumat
Pemerintah itu adalah adanya pengumuman dari Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BPKNIP)
tentang perubahan pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen, dalam hal ini
adalah Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Usulan dari BPKNIP itu kemudian disetujui
oleh Presiden Soekarno pada 14 November 1945.
Dengan demikian, maka secara otomatis sistem pemerintahan di Indonesia saat itu
bukan lagi presidensial, tetapi menjadi parlementer.[3]
Sistem pemerintahan parlementer
yang pertama di Indonesia dimulai pada 14 November 1945 sampai 12 Maret 1946
dibawah kepemimpinan Perdana Menteri
Pertama Indonesia, Soetan Sjahrir atau disebut juga sebagai Kabinet Sjahrir I.[4]
Langkah mengubah sistem pemerintahan Indonesia dari presidensil ke parlementer
dianggap sebagai suatu langkah politik ideologi Sjahrir yang menganut sosial-demokrat dan mendukung sistem
demokrasi Barat yang parlemennya kuat.[5]
Demokrasi
parlementer di
Indonesia semakin kuat dengan memiliki landasan konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar Sementara 1949 dan 1950. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 itu menetapkan bahwa
lembaga eksekutif, yang terdiri dari presiden sebagai kepala negara
konstitusional dan menteri-menteri memiliki tanggungjawab politik dibawah
seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sehari-hari. Kabinet
pemerintahan itu kemudian dibentuk atas dasar koalisi partai-partai di
parlemen, namun seringkali koalisi antar partai itu mengalami keretakan dan
menggoyahkan kabinet pemerintahan. Akhirnya karena seringnya koalisi partai
tidak pernah utuh sampai selesai, banyak kabinet pemerintahan di masa demokrasi
parlementer jatuh bangun dengan cepat, ditambah partai yang menjadi oposisi
seringkali menunjukkan sikap kritik destruktif dengan mengangkat sisi negatif
partai penguasa, hal ini menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia saat itu
belum dewasa.6
2. Demokrasi Terpimpin
Setelah berakhirnya era demokrasi
parlementer, Indonesia mulai memasuki fase demokrasi lainnya, yaitu demokrasi
terpimpin. Demokrasi terpimpin dimulai saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Tetapi sebelum dekrit presiden diumumkan, demokrasi parlementer atau
demokrasi konstitusional masih bertahan dengan adanya pembentukan sebuah
kabinet transisi yang dipimpin oleh Ir.
Djuanda atau
yang disebut sebagai Kabinet Djuanda. Kabinet Djuanda ini berisi orang-orang
yang bukan dari koalisi dominan partai di palemenen, maka seringkali Kabinet
Djuanda disebut juga sebagai Kabinet Ekstra
Parlemen.
Kabinet ini terhitung mulai bekerja sejak 9 April 1957 sampai 10 Juli 1959.[6]
Puncak dari ide-ide dan konsepsi
demokrasi yang diimpikan Soekarno itu adalah pada 21 Februari 1957 yang dikenal
dengan nama Konsepsi Presiden. Konsepsi Soekarno itu
dikemukakan dihadapan para menteri kabinet pemerintahan, pemimpin partai
politik, dan perwira angkatan bersenjata. Isi daripada konsepsi itu antara
lain:[7]
1. Sistem demokrasi parlementer tidak cocok, harus diganti dengan
demokrasi terpimpin.
2. Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin harus dibentuk Kabinet Gotong
Royong yang
diawali dengan adanya “Kabinet Kaki Empat”.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan
fungsional sebagai penasehat Presiden.
Bila disimpulkan, Konsepsi Presiden yang dikemukakan
oleh Soekarno intinya adalah :
1) Mengganti sistem pemeritnahan dari parlementer ke presidensial,
2) Berusaha merangkul semua kekuatan politik yang ada, terutama
empat partai pemenang pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU, dan PKI,
dan juga merangkul pihak militer dalam
pembentukan Dewan Nasional.
3. Demokrasi Pancasila
Era demokrasi
Pancasila diawali
dengan suatu peristiwa sejarah yang sangat kelam bagi Indonesia, yaitu Gerakan
30 September(G30S)
atau yang sering juga disebut dengan G30S/PKI. Pemberontakan
G30S terjadi pada antara 30 September dan juga 1 Oktober 1965, Soekarno lebih
suka menyebutnya Gestok (Gerakan Satu Oktober)
semenatara Soeharto lebih suka menyebutnya Gestapu (Gerakan September
Tigapuluh).
Peristiwa ini menelan korban kurang
lebih tiga juta orang - menurut Sarwo Edhie Wibowo, sekaligus
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
kasus genosida terbesar keempat di dunia
setelah Jerman Nazi, Kamboja Demokratik,
dan Rwanda.[8]
Masa demokrasi
Pancasila menunjukkan
keberhasilan dalam politik, hal ini dibuktikan dengan keberhasilan
menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) secara teratur,
yaitu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Adanya pemilu yang teratur memang
merupakan tekad awal Orde Baru untuk membangun kembali demokrasi Indonesia, dan
ini telah diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tahun 1969,
tepatnya satu tahun setelah Jenderal Soeharto dilantik menjadi Presiden
Kedua Republik Indonesia pada 1968 atau dua tahun setelah dilantik sebagai Pejabat Presidenpada
1967 dan tiga tahun setelah mendapatkan Surat Perintah
Sebelas Maret.
Hal ini sesuai dengan slogan Orde Baru yaitu; menjalankan Undang-Undang Dasar
1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.[9]
Publik mulai menyadari bahwa
nilai-nilai demokrasi tidak ada dalam
penyelenggaraan pemilu yang diadakan oleh Orde Baru. Misalkan adanya kebijakan fusi partai yang
menjadikan semua kelompok nasionalis dilebur menjadi Partai Demokrasi
Indonesia dan
seluruh golongan Islamis digabung dalam Partai Persatuan
Pembangunan, sementaraGolongan Karya tetap menjadi satu
organisasi politik non-partai pada saat itu. Kedudukan Golkar yang non-partai
ternyata dijadikan kelebihan bagi Orde Baru, karena hanya Golkar saja yang
boleh memiliki pengurus hingga ke tingkat desa dan kelurahan, selain itu
pemerintah juga menerapkan kebijakan monoloyalitas bagi pegawai negeri untuk mewajibkan mereka
memilih Golkar dalam setiap pemilu, hal ini menunjukkan apa yang disebut oleh
Miriam Budiardjo sebagai ketidakadilan dalam sistem politik di masa demokrasi
Pancasila.[10]
4. Era Reformasi
Proses Reformasi politik di
Indonesia pasca jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998 telah
membuka peluang bagi tumbuhnya nilai-nilai demokrasi demi mewujudkan suatu
pemerintahan yang baik. Proses Reformasi itu terbagi dalam dua fase, yaitu:
A. Transisi Demokrasi
Sebenarnya fase transisi ini adalah
fase yang paling singkat, namun paling menentukan, karena ketidakberhasilan
suatu negara dalam proses demokratisasi-nya tergantung pada proses transisi
demokrasi. Menurut Richard Gunther,
transisi itu adalah :
"Begins with the breakdown of the
former authoritarian regime and ends with the establishment of a relatively
stable configuration of political institutions within a democratic regime"[11][12]
yang artinya adalah:
"Dimulai dengan hancurnya bekas rezim otoriter
dan diakhiri dengan pembentukan konfigurasi institusi politik yang relatif
stabil dalam sebuah rezim demokratis"
B. Konsolidasi Demokrasi
Setelah proses transisi demokrasi berhasil, maka
selanjutnya adalah konsolidasi atau pemantapan sistem demokrasi. Menurut Kacung Marijan,
konsolidasi demokrasi menjadi penting karena seringkali beberapa negara yang
berusaha melakukan proses demokratisasi justru gagal ditengah jalan karena
proses transisinya yang tidak selesai atau gagal dalam proses konsolidasi
sebuah sistem yang demokratis, sehingga negara itu kembali kepada sistem
otoriter dan diperintah kembali oleh seorang diktator.[13][14]
Konsep utama dari proses
konsolidasi demokrasi menurut Andreas Schedler adalah
manakala ada suatu negara yang menghadapi stabilitas rezim, itu artinya bahwa
konsolidasi ditentukan oleh seberapa stabilnya rezim, dalam hal ini adalah
bagaimana konsolidasi demorkrasi menjadi berhasil bila stabilitas rezim yang
demokratis itu juga dapat terjaga. Menurut Guillermo O'Donnell,
bila konsolidasi rezim itu sudah tercapai, maka sudah kemungkinan besar
stabilitas rezim juga akan dapat berkelangsungan.[15][16]
Tantangan Demokrasi
Proses konsolidasi demokrasi di Indonesia juga
didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik pasca reformasi setidaknya
dalam ekonomi makro, seperti
pertumbuhan investasi, kerjasama perdagangan luar negeri, dan sebagainya.
Tetapi yang menjadi tantangan adalah kebangkitan ekonomi makro di Indonesia
ternyata tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi mikro, perekonomian rakyat
dari kalangan menengah ke bawah belum cukup terasa. Selain itu menurut Fuad Bawazier, perekonomian
Indonesia sebagian besar masih ditopang oleh hutang luar negeri, ditambah lagi
dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, dan sebagainya.[17]
Bila demokrasi parlementer,
demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila selalu menemui tantangan politik,
salah satunya kemunculan rezim diktator. Maka di era reformasi ini, sektor
ekonomi yang menjadi tantangan bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia,[18][19]
sekaligus menentukan kemanakah arah demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, apakah
seperti yang akan dicita-citakan oleh para founding
fathers Bangsa Indonesia atau mungkin kearah lainnya?
E. Pembangunan
Civil Society di Indonesia
1. Pengertian Civil Society
Di bawah ini beberapa istilah dan
penggegas yang mengacu pada pengertian masyarakat sipil, sebagaimana dirumuskan
oleh Dawam Rahardjo :[20]
INDONESIA
|
ASING
|
Masyarakat Sipil
(Mansour Fakih)
Masyarakat Warga
(Soetandyo Wignyosubroto)
Masyarakat Kewargaan
(Frans-Magnis Suseno dan M. Ryas
Rasyid)
Masyarakat Madani
(Anwar Ibrahim, Nurcholis Madjid,
M. Dawam Rahardjo)
Civil Society (tidak diterjemahkan)
(M. AS. Hikam)
|
Koinonia Politike
(Aristoteles)
Societas Civilis
(Cicero)
Comonitas Civilis
Comonitas Politica
Societe Civile
(Tocquiville)
Burgerlishe Gesellscaft
(Hegel)
Civil Society
(Adam Ferguson)
Civitas Etat
|
Istilah madani secara umum dapat
diartikan sebagai “ adab atau beradab “ Masyarakat madani dapat didefinisikan
sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai
kehidupannya, untuk dapat tata masyarakat yang beradab dalam membangun,
menjalani, dan memaknai kehidupannya, untuk dapat mencapai masyarakat seperti
itu, persyaratan yang harus dipenuhi antara lain adalah keterlibatan dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, kontrol masyarakat
dalam jalannya proses pemerintahan, serta keterlibatan dan kemerdekaan
masyarakat dalam memilih pimpinannya.[21]
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilainilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.[22]
Han Sung-joo mendefinisikan masyarakat madani merupakan sebuah
kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan
sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu
mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu
mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui
norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk
serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.
Dari beberapa definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud masyarakat madani adalah sebuah kelompok
atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan
negara, memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya
lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan
publik.[23] Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa masyarakat madani adalah sistem
sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin kesimbangan antara
kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat.
Karakteristik Civil Society
a) Wilayah publik yang bebas (free
public sphere)
b) Demokrasi
c) Toleransi
d) Kemajemukan (pluralisme)
e) Keadilan sosial (social
justice)
B. Sejarah dan Perkembangan Civil Society
1. Fase pertama, dikembangkan oleh:
·
Aristoteles (384-322 SM)
Civil Society dipahami sebagai sistem kenegaraan
dengan menggunakan istilah koinonia
politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat
langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Istilahkoinonia politike digunakan
untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di
dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.
· Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
Masyarakat sipil atau societies civilies ,yaitu sebuah komunitas yang mendominasi
komunitas yang lain. Istilah ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city state), yakni untuk menggambarkan
kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan
yang terorganisasi.
·
Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Hobbes, masyarakat madani harus memiliki
kekuasaan mutlak agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat
pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara.
· John
Locke (1632-1704 M)
Kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk
melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah
masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah
yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi
warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
2.
Fase kedua, dikembangkan
oleh:
· Adam
Fergusson (1767)
Ia menekankan masyarakat madani pada sebuah visi
etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk
mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan
munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu.
3.
Fase ketiga, dikembangkan
oleh:
·
Thomas Paine (1792)
Ia menggunakan istilah masyarakat madani sebagai
kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan
dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan demikian, maka negara harus
dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi
kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum.
Masyarakat madani menurut Paine adalah
ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi
pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
4.
Fase keempat, dikembangkan
oleh:
· GWF
Hegel (1770-1851 M)
Struktur sosial terbagi atas 3 entitas, yakni
keluarga, masyarakat madani dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi
pribadi sebagai anggota masyarakat yang
bercirikan keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat
berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama
kepentingan ekonomi. Sementara negara merupakan representasi ide universal yang
bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk
intervensi terhadap masyarakat madani.
· Karl Mark (1818-1883)
Masyarakat madani sebagai “ masyarakat borjuis” dalam
konteks kehidupan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi
pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk
mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
·
Antonio Gramsci(1891-1837 M)
Ia tidak memahami masyarakat madani sebagai relasi
produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Gramsci memandang adanya sifat
kemandirian dan politis pada masyarakat sipil, sekalipun keberadaannya juga amat
dipengaruhi oleh basis material.
5. Fase kelima, dikembangkan oleh:
·
Alexis de Tocqueville (1805-1859)
Masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang
kekuatan negara. Bagi de’ Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat
madani-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan
tertwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat
madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan
negara.[24]
Di Indonesia sendiri kemunculan Civil Society sudah ada dalam bentuk
yang bisa dikatakan tidak seperti Civil
Society yang modern. Menurut Bob Sugeng Hadiwinata, perkembangan Civil Society di Indonesia terbagi
menjadi empat gelombang.
Pertama, Civil Society
masih berbentuk gerakan-gerakan yang melekat dalam masyarakat tradisional di
Indonesia seperti gotong-royong (mutual
help), lubung pacekik (food security),
beras perelek (burial insurance) dan
sebagainya.
Kedua, pergerakan Civil
Society selanjutnya sudah mulai teroganisir dengan cukup baik serta
memiliki tujuan untuk mempromosikan pendidikan, kesehatan dan kegiatan
religius. Contoh dari Civil Society
pada gelombang kedua adalah organisasi-organisasi yang berbasis volunter
seperti NU, Muhammadiyah, SI, Taman Siswa dan sebagainya.
Ketiga, gerakan Civil Society
yang selanjutnya mulai memfokuskan pada pemberdayaan dan pengembangan
masyarakat serta mereka juga dengan jelas mengatakan bahwa mereka
terpisah/tidak terikat oleh pemerintah dalam menjalankan gerakannya. Itulah
sebabnya gerakan yang ada pada gelombang ketiga sering disebut sebagai NGOs (Non-Governmental Organizations).
Keempat, gerakan yang muncul pada gelombang ke-empat ini terfokus
pada penguatan demokrasi di Indonesia. Gerakan inilah yang menyebabkan jatuhnya
rezim Suharto dan terjadinya reformasi pada tahun 1998. Gerakan ini biasanya
dilakukan dengan masa yang cukup besar dan berasal dari masyarakat sendiri (people’s sovereignty).
D.
Strategi Membangun Civil Society di Indonesia
1.
Integrasi nasional dan
politik
Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi
tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa
dan bernegara yang kuat.
2.
Reformasi sistem politik
demokrasi
Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun
demokrasi tidak usah menunggu rampungnya
tahap pembangunan ekonomi.
3.
Membangun masyarakat madani
sebagai basis yang kuat ke arah demokratisasi.
Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap
realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan begitu strategim ini lebih
mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah
yang makin luas.
[2] Haniah Hanafie dan
Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 17
[3] Haniah Hanafie dan
Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 18 - 19
[4] Haniah Hanafie dan
Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 19
[5] Arif Zulkifli, dkk, (ed.),
Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil,
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) hal. 105 6 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,(Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 128
[6] Haniah Hanafie dan
Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 47
[7] Haniah Hanafie dan
Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 49
[8] "Genosida* 1965: Tragedi Kemanusiaan dan Serangan
atas Perjuangan Kelas".IndoPROGRESS (dalam bahasa Inggris).
2015-10-09. Diakses tanggal 2017-12-04.
[11]
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru,(Jakarta: Kencana, 2010) hal.
[13]
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru,(Jakarta: Kencana, 2010) hal.
[15]
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru,(Jakarta: Kencana, 2010) hal.
[17]
Fuad Bawazier, Republik Keluh Kesah,
(Jakarta: RMBOOKS, Cetakan ke II 2008) hal. 137 - 151 dan 231 - 232
[18]
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru,(Jakarta: Kencana, 2010) hal.
[23]
Rosyada, Dede
(dkk.). 2003. Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat madani. Jakarta: Prenada Media
[24]
Ubaedillah
(dkk.) 2010. Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat madani. Jakarta: Prenada Media.
Komentar
Posting Komentar